Upah Menurut Perspektif Ekonomi Islam

Upah Menurut Perspektif Ekonomi Islam

Upah Menurut Ekonomi Islam

Upah atau gaji merupakan pembayaran yang diberikan oleh majikan kepada pekerja atas usahanya terlibat dalam proses produksi.11 Upah dalam bahasa Arab disebut al-ujrah. 12 Dari segi bahasa al-ajru yang berarti iwaḍ (ganti), oleh sebab itu al-sawab (pahala) dinamai juga al-ajru atau atau al-ujrah (upah). 13 Pembalasan atas jasa yang diberikan sebagai imbalan atas manfaat suatu pekerjaan.

Upah dapat dinisbatkan pada penghasilan yang diperoleh tenaga kerja, yang dalam hal ini dapat dipandang sebagai jumlah uang yang diperoleh dari seorang pekerja selama suatu jangka waktu tertentu, sepertilahnya sebulan, seminggu, atau sehari, mengacu pada upah nominal tenaga kerja. Upah dari seorang buruh tergantung pada berbagai faktor seperti jumlah upah berupa uang, daya beli uang, dan seterusnya, yang dapat dikatakan terdiri dari jumlah kebutuhan hidup yang sebenarnya diterima oleh seorang pekerja karena kerjanya sehingga pekerja diberi imbalan baik besar maupun kecil harus sebanding dengan harga nyata pekerjaannya, bukan harga nominal atas jerih payahnya.



Pengertian upah dalam kamus bahasa Indonesia adalah uang dan sebagainya yang dibayarkan sebagai pembalasan jasa atau sebagai pembayaran tenaga yang sudah dilakukan untuk mengerjakan sesuatu.14Afzalurrahaman juga mengatakan bahwa upah adalah harga yang dibayarkan pekerja atas jasanya dalam produksi kekayaan, seperti factor produksi lainnya, tenaga kerja diberi imbalan atas jasanya, dengan kata lain, upah adalah harga dari tenaga yang dibayar atas jasanya dalam produksi.

 

Menurut Muhammad Abdul Mannan upah merupakan:

look at wages from two points of view, the monetary and the non-monetary. The quantity of money earned by labour during a period of time, say, a month or a week or a day, refers to the nominal wages of labour. The real wages of labour which depends on various sectors like the amount of money wages, the purchasing power of money, etc. May be said to consist in the quantity of necessaries of life which labour actually earns by his work: “the labourer is rich or poor, is well or ill rewarded, in proportion to the real, not to the nominal, price of his labour”.



 

Dari pengertian yang disampaikan Mannan tersebut dapat difahami bahwa upah merupakan imbalan yang diterima oleh para pekerja. Imbalan yang dimaksudkan sebagai upah di atas secara jelas dapat dilihat dari dua sisi sudut pandang yakni dari sudut pandang moneter dan bukan moneter, dalam artian upah dilihat dari beberapa banyak uang yang diterima pekerja dalam masa waktu tertentu, serta kuantitas hidup para pekerja yang ia dapat karena bekerja.Dari makna yang ditawarkan Mannan tersebut, dapat lebih jauh didekatkan dengan upah dalam fiqh muamalah, yang masuk pada pembahasan ijarah, terutama yang berkaitan dengan tenaga manusia.

Upah secara garis besarnya dapat dikategorikan atas:

  1. Pemberian imbalan karena mengambil manfaat dari suatu barang, seperti rumah, pakaian dan lain-lain.
  2. Pemberian imbalan akibat suatu pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang, seperti seorang pelayan jenis pertama mengarah kepada sewa menyewa dan yang kedua lebih menuju kepada ketenagakerjaan.

Berkenaan dengan konsep ijarah atas tenaga manusia maka fiqh mengatur dengan ujrah (upah) sebagai berikut:

  1. Upah tersebut berupa harta yang diketahui dan upah tersebut harus dinyatakan secara jelas, karena akan mengandung unsur jihalah (ketidakjelasan) hal itu sudah menjadi kesepakatan ulama’ akan tetapi ulama’ Malikiyah menetapkan keabsahan ijarah tersebut sepanjang ukuran upah yang dimaksudkan dapat diketahui berdasarkan adat kebiasaan.
  2. Upah harus berbeda dengan jenis obyeknya, mengupah suatu pekerjaan yang serupa, seperti menyewa tempat tinggal, pelayan dengan pelayanan, hal itu menurut Hanafi hukumnya tidak sah dan dapat mengantarkan pada praktek riba.



 

Islam menawarkan suatu penyelesaian yang sangat baik atas masalah upah dan menyelamatkan kepentingan kedua belah pihak. Upah ditetapkan dengan cara yang paling tepat tanpa harus menindas pihak manapun. Setiap pihak memperoleh bagian yang sah dari hasil kerjasama mereka tanpa adanya ketidakadilan terhadap pihak lain. Dalam hal ini ditegaskan dalam Al-Qur’an:

“…Kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” ( Q. S. Al-Baqarah : 279)

Ayat di atas memberikan penegasan dalam perjanjian (tentang upah) kedua belah pihak diperingatkan untuk bersikap jujur dan adil dalam semua urusan mereka, sehingga tidak terjadi tindakan aniaya terhadap orang lain dan juga tidak merugikan kepentingannya sendiri.

Upah yang wajar atau dalam artian tidak seorang pun yang dirugikan adalah apa yang dibutuhkan oleh seorang pekerja, yaitu biaya hidup dengan batas minimum. Penentuan upah tidak boleh didasarkan perkiraan batas taraf hidup yang paling rendah atau tingginya tarif tertentu. Menetapkan upah yang adil bagi pekerja sesuai dengan syari’ah bukanlah pekerjaan mudah. Mawardi dalam Al-Ahkam al-Sulthaniyah berpendapat, dasar penetapan upah pekerja adalah standar yang cukup artinya gaji atau upah pekerja dapat menutupi kebutuhan minimum.

 

Lihat juga pembahasan terkait lainnya : 

 

 



 

 

How useful was this post?

Click on a star to rate it!

Average rating / 5. Vote count:

No votes so far! Be the first to rate this post.

As you found this post useful...

Follow us on social media!

Originally posted 2022-02-17 17:45:16.

Uncategorized