Kitab Al-Amwal merupakan sebuah maha karya tentang ekonomi yang dibuat oleh Abu ‘Ubaid yang menekankan beberapa issu mengenai perpajakan, hukum serta hukum administrasi dan hukum internasional. Kitab Al-Amwal secara komprehensif membahas sistem keuangan publik islam terutama pada bidang administrasi pemerintahan. Kitab ini juga memuat sejarah ekonomi islam selama dua abad pertama hijriyah, dan merupakan sebuah ringkasan tradisi islam asli dari Nabi, para sahabat dan para pengikutnya mengenai permasalahan ekonomi. Abu ‘Ubaid dalam kitab Al-Amwal, banyak mengutip pandangan dan perlakuan ekonomi dari imam dan ulama terdahulu. Ia sering mengutip Malik ibn Anas dan pandangan sebagian besar ulama madzhab Syafi’i lainnya, dan juga mengutip beberapa ijtihad Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad ibn Al-Hasan Asy-Syaibani.
Pemikiran Abu Ubaid Tentang Perdagangan Internasional
Pemikiran Abu ‘ubaid dibagi dalam tiga pemikiran, yaitu tidak adanya nol tarif, cukai bahan makanan pokok, dan ada batasan tertentu untuk cukai.
-
- Tidak adanya nol tarif
Abu ‘ubaid mengambil kesimpulan bahwa cukai merupakan adat kebiasaan yang senantiasa diberlakukan pada zaman jahiliyah. Kemudian Allah membatalkan sistem cukai tersebut dengan pengutusan Rasulullah dan agama islam, lalu datanglah kewajiban membayar zakat sebanyak seperempat dari ‘Usyr (2,5%). Dari Zayid bin Hudair, ia berkata, “ saya telah dilantik umar menjadi petugas bea cukai. Lalu dia memerintahkanku supaya mengambil cukai barang impor dari para pedagang kafir harbi sebanyak ‘usyr (10%), barang impor perdagangan ahli dzimmah sebanyak setengah dari ‘usyr (5%), dan barang impor pedagang kaum muslim seperempat dari ‘usyr (2,5%).
Yang menarik cukai merupakan salah satu bentuk merugikan orang lain, yang sekarang ini didengungkan oleh penganut perdaganan bebas (Free Trade), bahwa tidak ada tarif barrier pada suatu negara. Barang dagang harus bebas masuk dan keluar dari suatu negara. Dengan kata lain, bea masuknya nol persen. Tapi, dalam konsep islam, tidak ada sama sekali yang bebas, meskipun barang impor itu adalah barang kaum muslimin. Unuk barang impor kaum muslimin dikenakan zakat yang besarnya 2,5%. Sedangkan non muslim, dikenakan cukai 5% untuk ahli dzimmah (kafir yang sudah melakukan perdamaian dengan islam) dan 10% untuk kafir harbi (Yahudi dan Nasrani). Jadi, tidak ada praktiknya sejak dari dahulu, bahwa barang suatu negara bebas masuk ke negara lain begitu saja.
- Cukai bahan makanan pokok
Untuk minyak dan gandum yang merupakan bahan makanan pokok, cukai yang dikenakan bukan 10% tapi 5% dengan tujuan agar barang impor berupa makanan pokok banyak berdatangan ke Madinah sebagai pusat pemerintahan saat itu. Dari Salim bin Abdullah bin Umar dari ayahnya, ia berkata “Umar telah memungut cukai dari kalangan pedagang luar; maing-masing dari minyak dan gandum dikenakan bayaran cukai sebanyak setengah dari ‘usyr 5%. Hal ini bertujuan supaya barang impor terus berdatangan ke negara Madinah. Dan dia telah memungut cukai dari barang impor al- Qithniyyah sebanyak ‘usyr 10%.” - Ada batas tertentu untuk cukai
Tidak semua barang dagang dipungut cukainya . ada batas tertentu dimana jika kurang dari batas tersebut, maka cukai tidak akan dipungut. Dari Ruzaiq bin Hayyan ad-Damisyqi (dia adalah petugas cukai diperbatasan mesir pada saat itu) bahwa Umar bin Abdul Aziz telah menulis surat kepadanya yang isinya adalah, “barang siapa yang melewatimu dari kalangan ahli zimmah, maka pungutlah barang dagang impor mereka. Yaitu pada setiap dua puluh dinar mesti dikenakan cukai sebanyak satu dinar. Apabila kadarnya kurang dari jumlah tersebut, maka hitunglah dengan kadar kekurangannya, sehingga ia mencapai sepuluh dinar. Apabila barang dagangnya kuran dari sepertiga dinar, maka janganlah engkau memungut apapun darinya. Kemudian buatkanlah surat pembayaran cukai kepada mereka bahwa pengumpulan cukai akan tetap diberlakukan sehingga sampai satu tahun”.
- Tidak adanya nol tarif
Originally posted 2022-09-25 10:34:06.